Senin, 15 Februari 2010

HIDUP adalah SAAT INI

"Regretting the past is the sadness. Worrying about the future is to anxiety. Do the best for now is a joy."

Saya teringat sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Gito Rolies (alm) yang berjudul HARI INI. Ada baitnya yang berbunyi begini,: "Hari ini untuk hari ini... hari esok itu soal nanti... bergembiralah... berbahagialah... nikmatilah hari ini.."


Sungguh.... Kita hidup di hari ini, detik ini. Satu detik yang lalu adalah pengalaman dan satu detik yang akan datang adalah masa depan. Maka dari itu ... mari kita jadikan pengalaman sebagai pijakan anak tangga menuju kebahagiaan masa depan dengan melakukan apa yang seharusnya kita lakukan saat ini. Menyesali masa lalu adalah kesedihan. Mencemaskan masa depan adalah kegelisahan. Dan melakukan apa yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah kegembiraan.

Kesedihan, kekurangan, kekecewaan dan segudang kekacauan di masa lalu tidaklah sepatutnya untuk disesalkan. Begitupun segala harapan untuk masa depan tidak pula perlu dicemaskan. Jalani saja hidup saat ini dan lakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Orang bijak bilang: "Kunci sukse hidup adalah adalah melakukan apa yang seharusnya kita lakukan saat ini".

Jumat, 18 Desember 2009

Jumat, 12 Februari 2010

Jadwal Hidup Ibu

Senin sampai Sabtu

• 02.00 sd 02.30 : Bangun tidur, wudlu, sholat tahajut, do'a, tidur lagi
• 04.00 sd 05.00 : Bangun tidur, mandi, berpakai rapi dan mengenakan mukenah, sholat sunat, membangunkanku dengan panggilan Mam, "Mam, Mam, hei Pak Imam... ayo bangun! sebentar lagi subuh... tuh jama'ah sudah menunggu", mambangunkan adik lelaki dan perempuanku, sholat subuh berjama'ah.

• 05.00 sd 06.30 : Merendam pakai kotor, membereskan dapur, membuat sarapan (sambil menyanyikan lagu kesukaannya (Diana Nasution, Titik Puspa dan Rinto Harahap), sarapan bersama (ibu, aku dan dua adikku)

• 06.30 sd 08.00 : Mengantar aku dan adik-adikku berangakat sekolah dengan pandangan mata penuh do'a, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyapu halaman.
• 08.00 sd 14.00 : Keruang kerja (kamar tempat melakukan kegiatan jahit-menjahit pakaian), bekerja (menjahitkan orderan, menerima orderandan menerima pembayaran),belanja sayuran (dengan tukang sayur langganan yang setiap hari selalu mampir), masak, sholat dhuhur, makan siang bersama aku dan adik-adikku.

• 14.00 sd 18.00 : Bekerja lagi (terkadang sambil membuatkan bubur kacang, goreng pisang atau kue bolu untuk aku dan adik-adikku), sholat asar, membantu buat PR adik lelakiku, sholat maghrib berjama'ah.

• 18.00 sd 22.00 : Menyiapkan makan malam, makan malam, kumpul sama aku dan adik-adikku (bercerita, bersenda gurau, bertanya, menjawab, dan memberi nasehat), sholat isya berjamah, nonton TV, tidur (terkadang tertidur di depan TV.
• 22.00 sd. 02.00 : Tidur (tetapi sesekali bangun dan melihat keadaan aku dan adik-adikku yang sedang tidur).

Minggu

• Tidak jauh berbeda dengan hari-hari lainnya, cuma terkadang pergi ke undangan famili yang ada hajatan (bersama adik-adikku) atau mengunjungi saudara yang atau tetangga yang sakit (juga bersama adik-adikku)

Rutinitas ibunya itu ditulis oleh Furqon 17 tahun yang lalu, saat dia masih duduk di kelas 2 SMA, dalam buku hariannya dengan judul 'Jadwal Hidup Ibu'. Saat itu adalah bertepatan dengan delapan tahun meninggalnya sang ayah tercinta.

Saat ini Furqon telah beristeri dan mempunyai satu orang anak lelaki yang berumur delapan tahun. Adik perempuannya sudah menjadi seorang dokter dan sudah menikah dengan seorang ulama muda serta dikaruniai seorang anak perempuan yang baru berumur delapan belas bulan. Adik lelakinya, bungsu, masih kuliah di Fakultas Teknik sebuah perguruan tinggi negeri dan belum menikah.

Dua tahun yang lalu, Ibu dan adik lelaki bersama Furqon serta isteri dan anaknya menunaikan ibadah haji. Semua atas biaya Furqon.

Satu tahun yang lalu Furqon memboyong ibunya ke rumah barunya yang cantik, yang memiliki ruang keluarga yang besar serta tanan yang indah.
Setengah tahun yang lalu, selama dua puluh hari, bersama anak dan isterinya, Furqon mengajak ibunya liburan ke Mesir.

Tiga bulan yang lalu, saat semua keluarga - ibu, isteri, adik lelaki, dan adik perempuan serta suaminya - berkumpul dalam keadaan berbahagia, Furqon menunjukkan buku hariannya kepada ibu dan adik-adiknya. Semua menjadi haru mengenang kisah lalu. Lalu di atas selembar kertas, Furqon dan adik-adiknya menulis dengan tulisan yang sangat besar, "00.00 sd 24.00 : Lakukan segala kegiatan yang membahagiakan (kami anak-anakmu siap untuk memfasilitasinya)".

Tiga hari yang lalu, sang IBU meninggal dunia saat sedang sujud sholat tahajut.
Subhanallah



Fiksi, medio Februari 2010
Arief Budiman For All

Senin, 01 Februari 2010

Dia


Sebuah Cerpen
Residen Abdul Rozak, 28 Mei 2009

Suatu ketika, Dia datang dengan muka merah padam, lansung nyerocos marah-marah padaku.
"Kamu gila, ya.., masak aku dibiarkan menunggu, mending kalo yang ditunggu-tunggu datang," telunjuknya menuding mukaku, tepat di depan hidungku.
"Kamu tahu berapa lama aku menunggu, dua jam tauk!"
Dan, "plak..," telapak tangannya yang lembut menampar keras pipiku. Lalu Dia meninggalkanku begitu saja sambil ngoceh sendiri, sebelum sempat aku memberi penjelasan bahwa mobil mogok, dan hpku rusak karena terjatuh ketika aku hendak mengecek kerusakan itu.
Lain ketika, Dia datang padaku sambil menangis, langsung memeluk aku. Pipinya ditempelkan di dadaku. Tangannya memeluk erat pinggangku. Dia menangis sejadi-jadinya. Aku hanya diam.
"Papa sama Mama gak sayang padaku, Mas," katanya disela isak tangisnya.
"Masa' aku gak diijinin ikut kemah, Papa sama Mama cuma sayang sama Mas Edo, kalo Mas Edo yang minta, apa saja pasti dikabulkan." Dia terus saja ngomel-ngomel disela isak tangisnya. Aku hanya diam saja.
Lain waktu, dia berlari ke arahku ketika keluar dari gerbang sekolahnya. Dia berlari dengan senyum mengembang kepadaku. Dia begitu gembira. Dan ketika Dia sudah dekat ke arahku, tangannya dibentangkannya selebar-lebarnya dan Dia berteriak, "Massss.....," Lalu Dia melompat, menerbak aku. Untung saja pada waktu itu aku dalam posisi siap menyambut dirinya, hingga Dia berada dalam pelukkanku. Dia mengecup pipi kiri dan pipi kananku. Lalu Dia melepaskan pelukkannya, lalu bicara dengan penuh semangat, "Ini merupakan hari paling bahagia bagiku,Mas," matanya berbinar bahagia menatap mataku, "Ulangan emtekaku dapet seratus." Dan sekali lagi Dia memeluk tubuhku serta mencium pipi kiri dan kananku.
Lain waktu lagi, Dia berkata seolah mengancam padaku.
"Pokoknya! Hari ini pulang sekolah, Mas harus mengantar aku ke pantai! Dan awas!" telunjuknya menuding mukaku, dan kepalanya mangut-manggut, persis seperti seorang preman yang sedang mengintimidasi mangsanya. "Jangan kasih tau Papa dan Mama! Kalo Papa atau Mama nanya, bilang saja ada pelajaran tambahan di sekolah." lanjutnya.
Suatu waktu lagi, Dia berteriak keras, "Hei...!" Air mineral dalam botol plastik tumpah membasahi muka dan kaosku. Kedatangannya begitu tiba-tiba, Dia mengagetkan aku dari belakang tubuhku ketika aku sedang menenggak air mineral. Dan melihat itu, Dia tertawa terbahak-bahak.
"ha ha ha..., kacian deh lu," katanya, dan
"Mas..., aku punya kejutan buat Mas," katanya dengan wajah yang lucu dengan tangan disembunyikan di balik punggungnya, "Tapi syaratnya Mas harus merem, dan kalo aku bilang buka..., baru buka, oke...!" Aku hanya tersenyum dan menuruti kemauannya. Aku memejamkan mataku, lalau ketika kudengar Dia bilang,"buka," aku membuka mataku. Tepat di depan mataku kulihat sebuah bungkusan. Kupandangi wajahnya. Dia tersenyum dan berkata,
"Ayo buka sekarang!"
Dan ketika kubuka ternyata isi bungkusan tersebut adalah sebuah kemeja berwarna biru muda, sebuah warna kesukaanku. Kupandangi wajahnya sambil tersenyum, dan sebagai reaksi dari senyum terima kasihku, Dia mencium pipi kiri dan kananku, "Eemmm... eemmmm."
Itulah Dia. Namanya Nadia Madia Faramedia. Begitulah sikapnya kepadaku. Kadang marah, memerintah, manja, perhatian dan terlihat sepertinya sayang kepadaku. Dan aku menerima saja segala sikapnya kepadaku.
Dia seorang gadis yang cantik, bukan menurutku saja, aku yakin semua orangpun akan berkata sama, bahwa Dia gadis yang cantik. Bila ada lelaki yang memandangnya pasti akan merasa kagum akan kecantikannya. Sering aku melihat kekaguman-kekaguman yang terpancar dari raut muka lelaki yang memandangnya, ketika aku berjalan berdua denganya. Dia juga memiliki tubuh yang indah dan sexy. Dia anak orang kaya. Dia anak bontot dari dua saudara. Dia pintar. Dia anak yang penuh kasih sayang orang tua. Dia mempunyai banyak teman. Dia anak yang bahagia dan periang.
Sampai suatu ketika, saat itu Dia sudah menjadi seorang masiswi Fakultas Kedokteran semester tujuh. Tanda kedewasaan sedikit sudah menghiasi wajahnya. Ketika aku hendak mengantarnya ke kampusnya, sambil menyetir mobil kurasakan Dia memandang lekat kepadaku, sambil tersenyum, sebuah senyum yang sudah sangat kukenal, senyum yang indah, ceria, tetapi kali ini senyumnya terlihat bertambah dewasa. Lama sekali Dia memandangku, kepalanya tidak pernah dipalingkannya ketempat lain, hanya memandangku. Aku jadi sedikit grogi. Sampai akhirnya di berkata, "Mas.., hari ini aku gak mau kuliah. Kita jalan-jalan aja ya.."
Aku sedikit kaget. Karena ketika Dia memandangku tadi, pikiranku jadi tak menentu, aku bingung, ada sebuah perasaan aneh muncul dalam diriku, tak pernah ini terjadi padaku.
"Lo...diajak ngomong kok diem aja? Iya gak..?
Dengan sedikit terbatah kujawab, "Ya." Jawabanku begitu kaku, tapi Dia seolah tak mempedulikannya. Dia masih saja memandangku dan masih saja tersenyum kepadaku.
"Kita ke pantai aja, Mas. Tempat sewaktu SMA dulu aku mengajak Mas kesana."
Aku mengangguk saja. Dan kuarahkan mobil yang kukendarai menuju tempat yang dimaksudnya.
Sesampai di pantai, setelah memesan dua gelas orange-juice, Dia berkata sambil tetap menyunggingkan senyumnya padaku, "kita duduk disana aja, Mas," tangannya menunjuk ke pondokan yang paling ujung. Aku hanya mengangguk saja.
Ketika berjalan menuju pondokan yang dimaksud, kedua tangan Dia memegang tangan kiriku, genggamannya tepat di atas siku tangan kiriku, kepalanya bersandar dibahu kiriku. Dia begitu manja. aku sering merasakan kemanjaannya padaku, tapi kali ini yang kurasakan begitu berbeda. Manjanya, bukan manja seorang anak kecil, sebagaimana manjanya sewaktu Dia masih SMA. Aku bingung kenapa aku merasakannya seperti ini, tetapi aku diam saja dan membiarkannya bersikap seperti itu.
Dan ketika berada di pondokan, sebuah pondok di tepi pantai yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Dia duduk tepat menghadapku. Kedua sikunya diletakkan di atas meja dan kedua telapak tangannya memangku dagunya. Lagi-lagi matanya lekat memandang mataku dan senyum indahnya seolah dipersembahkan khusus untukku.
Aku tak sanggup memandang mata itu, dan untuk menghindari pandangan itu, aku berpura-pura menikmati keindahan ombak yang menghempas di pantai.
Melihat tingkahku, Dia tertawa. Tawanya renyah sekali, dan terdengar begitu indah.
"Ehem...ehem...," Dia mendehem, bernada menggodaku, Dia sepertinya tahu kekakuanku.
"Mas, Mas..,.lihat aku dong," nada suara manja yang sudah sangat kukenal itu menegurku. Sambil tersenyum aku melihat kewajahnya. Aku tak tahu bagaimana bentuk senyumku dalam kekakuan sikapku.
Ketika kami berpandangan, semua terasa begitu hening. Aku tak tahu mengapa itu terjadi. Suara ombak yang menghempas seolah hilang begitu saja. Hening. Hening sekali. Lalu di dalam keheningan itu, Dia berkata kepadaku sambil memandangku, bahkan pandangannya terasa ikut berbicara kepadaku.
"Mas," Dia berkata serius sekali, aku belum pernah melihat Dia seserius ini. Aku hanya diam saja. Aku tak sanggup membalas tatapan matanya, pandangan mataku kualihkan kebibirnya, bibir yang begitu indah, begitu mempesona, yang selama ini sudah biasa kulihat, tapi baru kali ini membuatku begitu terpesona.
"Mas..., Mas tahu kenapa aku mengajak Mas kesini?" katanya sambil melepaskan topangan dagunya. dan meletakkan kedua tangannya di atas meja.
Aku menggelengkan kepalaku, sedikit sekali, seperti tidak menggelang saja, tapi aku tahu Dia mengerti bahwa jawabanku, "tidak."
"Mas, pernah melihat aku jalan atau pergi dengan cowok lain selain Mas?" tanpa menginginkan jawaban dariku, Dia melanjutkan kata-katanya.
"Tidak kan, Mas?"
"Mas, tahu kenapa..?" Dia tidak melanjutkan kata-katanya, sepertinya Dia kali ini mengharapkan jawaban dariku, atau hanya memberi jedah untuk melanjutkan kata-katanya. Pandangan matanya seolah mengisyaratkan hendak meyakinkan.
"Mas.., itu karena.........," kali ini nada bicaranya terasa berbeda, suaranya terdengar sedikit serak dan Dia memotong kata-katanya sendiri, kata-kata yang mestinya berlanjut tersebut terhenti, pandangannya pun dialihkannya secara tiba-tiba. Tiba-tiba saja Dia menunduk memandangi jemari tangannya sendiri.
Suasana terasa semakin menjadi hening, seolah yang terdengan hanyalah dengingan halus keheningan.
"Mas.., semalam aku tidak bisa tidur," Setelah diam beberapa jenak, Dia melanjutkan. Suaranya kali ini terdengar begitu lembut, bukan suara Dia yang selama ini kukenal. Aku tidak memberikan reaksi apa-apa, yang ada dikepalaku adalah keinginan untuk memeluknya erat-erat , ingin aku membelai rambutnya yang hitam tergerai, dan ingin kukecup keningnya. Aku tak tahu sejak kapan keinginan ini muncul. Muncul begitu saja. Ingin kutunjukkan rasa sayangku padanya. "Sayang..?" kata-kata itu muncul sendiri dikepalaku, yang kurasakan saat ini aku begitu menyayanginya. Tapi aku hanya berdiam diri, dan bersiap mendengarkan kelanjutan kata-kata dari Dia.
"Semalaman suntuk Dia memikirkan Mas," suaranya semakin melembut dan semakin terdengar serak, dan baru kali ini, sejak aku mengenalnya, Dia menyebut dirinya dengan "Dia", bukan "aku".
"Mas.., sudah sejak lama sekali Dia sayang sama Mas," matanya kali ini kembali memandang mataku.
"Dia merasa sayaaaang sekali sama Mas. Dia merasa Mas lah orang yang paling mengerti Dia. Dan selama ini hanya Mas lah orang yang paling dekat dengan Dia." Dia seolah tidak ingin dihentikan kata-kanya, Dia hanya ingin di dengar. Dengan muka yang bersemu merah, yang menambah kecantikan wajahnya, Dia meneruskan kata-katanya.
"Dia juga merasa kalau Mas juga sayang sama Dia. Walaupun Mas jarang sekali mengeluarkan kata untuk Dia. Walaupun Mas cuma berkata Ya, Baik, Ya Neng, Baik Neng, Ya Neng Dia, Ya ya ya, Baik baik baik dan Nang Neng Nang Neng," Dia berkata sambil tersenyum, sebuah senyum yang kurasakan sejuuuuuuk sekali.
"Tapi Dia yakin Mas juga sayang sama Dia, Dia dapat mersakan itu. Iya kan, Mas?" aku sedikit gelagapan mendapati pertanyannya, walaupun kini aku yakin yang dikatakannya adalah benar, dan walaupun keyakinan itu baru saja muncul hari ini, beberapa saat lalu. Aku yakin bahwa selama ini aku menyanyanginya, atau bahkan aku mencintainya, tetapi justeru ini yang membuatku bingung, sehingga kata-kata yang keluar dari mulutku, "Tapi Neng..."
"Tu kan... hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Mas, Nang Neng Nang Neng." Dia langsung memotong kata-kataku, walaupun aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku katakan untuk melanjutkan kata-kataku. Nada suranya sedikit kesal, atau lebih tepat merajuk manja.
Setelah menyelesaikan kata-katanya Dia berdiri dan berjalan kearahku, lalu tiba-tiba Dia memeluk tubuhku. Aku kaget sekali. Tangannya melingkar erat di pinggangku dan kepalanya dissandarkannya di dadaku.
"Mas Dama.., Dia sayaaaaaang sekali sama Mas Dama. Dia cintaaaa sekali sama Mas Dama." Kata-kata itu keluar dari Mulut Dia, Dia yang berada dalam pelukanku. Kata-kata itu begitu menggelagar dan terdengar bergema-gema lama sekali, tetapi terdengar begitu indah. Kata-kata terindah sepanjang hidupku yang pernah kudengar. Apalagi kali ini Dia menyebut namaku, nama panggilanku, Dama.
Pelukan Dia semakin mengerat ditubuhku. Dia seolah-olah tidak ingin aku melepaskan dirinya dari pelukanku. Entah karena dorongan apa, akupun memeluk dirinya, tanganku membelai rambutnya, belaian yang lembut, yang membuat diriku begitu damai, dan dapat kurasakan Dia pun merasakan kedamaian seperti yang kurasakan. Lalu sambil berkata lembut, "Mas Dama sayang sama Dia, Mas Dama cinta sama Dia," kukecup kening Dia dengan lembut dan penuh rasa sayang.
Lama sekali kami berpelukan, tak ingin rasanya kedamaian ini berlalu. Aku tak lagi menghiraukan bahwa Dia adalah majikanku, anak majikanku. Aku tak lagi menghiraukan bahwa aku hanyalah seorang sopir. Aku mencintai Dia dan Dia mencitai aku.
Waktupun berlalu, kini aku berdiri di depan sebuah bengkel mobil, sebuah bengkel yang besar dan mewah dengan plank merek besar bertuliskan "Bengkel Mobil Qudama Mandala Putera", dan dari kejauhan Dia berlari ke arahku sambil tersenyum, senyum yang selalu saja menyejukkan hatiku.
"Mas.., bagus gak desainnya?" Dia menyerahkan sebuah amplop undangan pernikahan yang di halaman muka bertuliskan "Dia & Dama", yang di dalamnya bertuliskan "Pernikahan Putera-Puteri Kami: dr. Nadia Madia Faramedia dengan Qudama Mandala Putera"

Jumat, 22 Januari 2010

Andai Malam Ini Kau Tidur Di Sampingku Seperti Panjangnya Waktu Yang Telah Kita Lalui

Sebuah Catatan Dalam Buku Harian Seseorang
Dicatat Rabu, 9 September 2009, dini hari


Malam ini aku berbaring sendiri.
Seperti malam-malam sebelum ini.

Malam ini aku berbaring sendiri.
Andai saja kau tidur di sampingku seperti panjangnya waktu yang telah kita lalui. Akan ku pandangi kau dengan penuh kasih, kubelai rambutmu dengan penuh sayang, kan kukecup kening dan kelopak matamu yang terpejam,akan sentuh pelan hidungmu denga jari tanganku, kuusap lembut bibirmu dengan punggung telunjukku. Wajahmu yang manis, yang selalu kukagumi dan kubanggakan, akan menyejukkan hatiku. Kan kubisikkan pelan di telingamu, "Aku sayang kamu".

Malam ini aku berbaring sendiri.
Andai kau tidur di sampingku, seperti panjangnya waktu yang telah kita lalui.
Tidak akan kupandangi kau dengan rasa sedih. Tidak akan kupandangi kau dengan air mata yang menggenang dikelopak mataku. Tidak akan kupandangi kau dengan rintihan hati betapa malangnya aku, mengapa kau sakiti aku, apakah tidak ada artinya segala rasa sayang dan cinta yang kuberikan selama ini padamu, mengapa kau hancurkan aku. Dan air mataku jatuh menitik di keningmu.

Malam ini aku berbaring sendiri.
Andai kau tidur di sampingku seperti panjangnya waktu yang telah kita lalui.
Tidak akan kupandangi kau dengan kekosongan. Kehampaan. Bingung akan apa yang kurasakan, karena campur baur rasa sakit, sedih, syang dan cinta telah teraduk-aduk tak karuan. Lalu aku kembali rebah dengan memandang kosong langit-langit kamar kita.


Malam ini aku berbaring sendiri.
Andai kau tidur di sampingku seperti panjangnya waktu yang telah kita lalui.
Akan kupeluk erat dirimu, kurangkul dengan segenap rasa sayangku, kudekap dengan sepenuh rasa cintaku. Dan tidur nyeyak dalam mimpi tamasya ke syurga bersamamu.

Sabtu, 02 Januari 2010

Missen


Cerita Pendek Arief Budiman
Mess Hatchery Segayam, 30 Oktober 2009, 19:10 wib



“I’m so sad today, Papa.”

Begitu bunyi sms yang ku terima.
Hatiku langsung tergugah. Aku langsung memikirkan dirinya; gerangan apa yang membuat hatinya bersedih; aku harus menghibur dirinya. Aku tidak ingin dia bersedih dalam hidupnya. Aku ingin dia selalu bahagia. Kesedihannya akan menjadi kesedihanku. Kebahagiannya akan menjadi kebahagiaanku. Lalu aku mulai memilih kata untuk membalas smsnya.

“Ada apa, sayang...?”Akh... sayang...? Memang aku begitu menyayanginya, tetapi mengucapkan kata sayang membuatku sedikit risih, walaupun terkadang dorongan hatiku untuk mengungkapkan rasa sayangku padanya dengan mengucapkan kata sayang begitu kuat, tetapi tetap saja aku merasa risih untuk mengucapkannya. Aku tahu walaupun aku tak pernah, mungkin pernah... tetapi jarang sekali, mengucapakan kata sayang, dia tahu bahwa aku sayang padanya, aku dapat merasakan itu.

Sejak dia mulai bisa merasakan permasalahan-permasalahan hidup dan mempunyai kekinginan untuk menyelesaikan permasalahan itu, sejak kedewasaan berpikir mulai masuk ke dalam pribadinya, sejak dia mulai memiliki hasrat dan keinginan-keinginan pribadi seorang gadis remaja, dia mulai dekat denganku. Sepertinya dia begitu ingin aku menjadi pelindungnya, menjadi penjaganya, dan menjadi orang yang dapat memberikan solusi terhadap setiap permasalahan yang dihadapinnya.
Belum sempat smsnya kubalas, masuk lagi sms darinya.

“Aku ingin menangis, Papa......”

Papa....? Ada perasaan tak menentu dalam diriku mendengar kata ini diucapkannya untukku. Kata Papa yang diucapkannya melalui sms itu membuatku ingin mencurahkan segala rasa sayangku padanya. Kata itu membuatku merasa menjadi orang yang sangat berarti dalam hidupku. Kata itu juga membuatku bahagia sekaligus sedih, apa benar rasa sayangku padanya adalah rasa sayang tulus seorang Papa kepada puteri tercintanya, jangan-jangan rasa sayangku padanya hanyalah rasa sayang yang berpamrih, yang berasal dari sebuah keinginan untuk merebut simpati, yang muncul karena sebuah hasrat syahwati, yang mengharapkan kehangatan pelukan dan indahnya desah napas bercampur erangan. Tapi, terlepas dari segala pikiran yang kerap muncul tersebut, aku benar-benar menyayanginya, aku benar-benar menginginkan dirinya bahagia, dan tak kuizinkan secuilpun penderitaan menghampiri dirinya.

“Aku ingin menangis, Papa......” Kembali kubaca sms itu. Ingin rasanya aku segera berada di dekatnya, hingga aku dapat mendekapnya, menyandarkan kepalanya di bahuku, mengelus punggung serta membelai rambutnya dengan segala rasa sayangku padanya. Ingin kubuat dirinya nyaman, hingga dia dapat membuang segala rasa gundah-gulana dan kesedihannya dengan bebas dan leluasa bersama air matanya yang tercurah di bahuku. Ingin kukuatkan dirinya dengan tatapan sayang mataku. Ingin rasanya segara kutinggalkan kantor dan langsung pulang kerumah, tapi masih ada tugas yang harus kuselesaikan hari ini, lagi pula apa mungkin aku dapat mendekapnya dalam pelukkanku, tidakkah nanti ketulusanku dianggapnya sebagai sebuah sikap kekurangajaranku padanya. Mungkin sebaiknya kutelpon saja dia.

Belum lagi sempat kutelpon dirinya, masuk lagi sms darinya.

“Uuhh... sepertinya tidak ada lagi yang peduli denganku...”

Hmm... aku hafal betul dengan nada sms seperti ini. Sebuah nada merajuk yang muncul karena sifat manja darinya padaku jika sampai dua atau tiga kali sms darinya belum kubalas. Kadang memang karena suatu hal maka aku harus menunda membalas sms atau menelpon balik, tetapi terkadang memang aku sengaja menunda membalas sms-sms darinya demi mengharapkan kemanjaannya pada diriku. Aku suka, atau lebih tepatnya senang dan bahagia, jika dia manja padaku. Kemanjaannya bagaikan pupuk yang menyuburkan rasa sayangku padanya.

“Hallo… Mbak… ?”

Segera ku sapa dirinya dengan handphoneku. Tidak ku gunakan kata sayang dalam sapaku. Ku panggil dia dengan panggilan ’Mbak’, sapaan sehari-hariku padanya, menirukan panggilan keponakan-keponakanku yang lain padanya.

Aku sangat akrab sekali dengan keponakan-keponakanku. Mereka manja sekali padaku, karena memang aku suka memanjakan mereka. Membelikan mereka mainan, pakaian, uang jajan dan hadiah-hadiah adalah wujud rasa suka dan sayangku kepada keponakanku. Hal ini mungkin muncul karena diusia perkawinanku yang sudah lebih dari sepuluh tahun ini aku belum dikaruniai keturunan, atau memang mungkin pada dasarnya aku menyukai anak-anak.

Dia merupakan anak tertua dari adik istriku.

”I’m so sad, Papa.” jawabnya dengan nada suara yang mulai serak karena menahan tangis.

”Ada apa sich, Mbak.... koq sedih..?”

”I’m falling in love, Papa”. Tangisnya langsung pecah. Sebuah tangisan manja.

Ada perasaan tak menentu di dalam hatiku saat mendengar bahwa dia mulai jatuh cinta.

”Lho... harusnya senang.... koq malah sedih... ?”

”Bingung...,” jawabnya pendek dan terdenganr manja

”Oke... nanti malam Mbak ceritakan panjang lebar ya.... I want to working now, oce... !”

“Hmm.. tapi janji ya… nanti malam.. your time specialy for me, you must promise to me.” rengeknya manja.

“Oke… I promise.”

Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin ku tanyakan padanya, jatuh cinta pada siapa, orangnya bagaimana, tampankah, kuliah dimana atau kerja dimana, tinggal dimana, suku mana, dan segudang pertanyaan lainnya. Tapi perasaan aneh yang ada dalam diriku seolah memaksa untuk segera menghentikan percakapan itu.

Aku tersandar di kursi kerjaku. Minatku untuk menyelesaikan tugas-tugas jerja yang menumpuk hilang. Pikiranku hanya tertuju padanya. Wajahnya yang manis dan sikap manjanya padaku seolah menari-nari mengitari kepalaku. Otakku hanya fokus kepadanya.

Dia jatuh cinta! Jatuh cinta!? Pada siapai!? Ini sangat menggangguku. Sepertinya ada rasa cemburu yang begitu kuat di hatiku. Aku seolah tidak rela dia jatuh cinta pada orang lain. Ada apa ini...? Ya... aku cemburu. Cemburu!

Cemburu..!? Akh... ini artinya aku jatuh cinta padanya.

Aku keluar dari ruang kerjaku dan kutinggalkan kantor. Tiba-tiba saja dorongan kuat memaksa aku untuk segera pulang ke rumah, sejak lulus SMU tiga bulan yang lalu dia tinggal dirumahku. Aku begitu rindu dirinya . Aku rindu............